SELAMAT DATANG DI WEBSITE CANTIK SEHAT DENGAN HERBAL

Monday, September 21, 2015

DAUN KELOR DAN HIPERTENSI

I.                   SIMPLISIA DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)
A.    Klasifikasi
Kingdom               : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom          : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi          : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi                     : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas                     : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas              : Dilleniidae
 Ordo                     : Capparales Famili: Moringaceae Genus: Moringa
Spesies                  : Moringa oleifera Lam

B.     Beragam Nama Kelor
Nama latin : Moringa oleifera Lam

Nama Umum          
Indonesia  : Kelor
Inggris                   : Moringa, Ben-oil tree, Clarifier tree, Drumstick tree



Di Indonesia, tanaman Kelor dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat Sulawesi menyebutnya kero, wori, kelo, atau Keloro. Orang-orang Madura menyebutnya maronggih. Di Sunda dan Melayu disebut Kelor. Di Aceh disebut murong. Di Ternate dikenal sebagai kelo. Di Sumbawa disebut kawona. Sedangkan orang-orang Minang mengenalnya dengan nama munggai.


C.    Deskripsi Umum

Kelor (Moringa oleifera) tumbuh dalam bentuk pohon, berumur panjang (perenial) dengan tinggi 7 - 12 m. Batang berkayu (lignosus), tegak, berwarna putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Percabangan simpodial, arah cabang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang. Perbanyakan bisa secara generatif (biji) maupun vegetatif (stek batang). Tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian ± 1000 m dpl, banyak ditanam sebagai tapal batas atau pagar di halaman rumah atau ladang.
Kelor merupakan tanaman yang dapat mentolerir berbagai kondisi lingkungan, sehingga mudah tumbuh meski dalam kondisi ekstrim seperti temperatur yang sangat tinggi, di bawah naungan dan dapat bertahan hidup di daerah bersalju ringan. Kelor tahan dalam musim kering yang panjang dan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar antara 250 sampai 1500 mm. Meskipun lebih suka tanah kering lempung berpasir atau lempung, tetapi dapat hidup di tanah yang didominasi tanah liat.

Perbanyakan Kelor dapat dilakukan dengan metode penyemaian langsung dengan biji atau menggunakan stek batang. Daun Kelor dapat dipanen setelah tanaman tumbuh 1,5 hingga 2 meter, yang biasanya memakan waktu 3 sampai 6 bulan. Namun dalam budidaya intensif yang bertujuan untuk produksi daunnya, Kelor dipelihara dengan ketinggian tidak lebih dari 1 meter. Pemanenan dilakukan dengan cara memetik batang daun dari cabang atau dengan memotong cabangnya dengan jarak 20 sampai 40 cm di atas tanah.








D.   
Penyebaran

Kelor merupakan tanaman asli kaki bukit Himalaya Asia selatan, dari timur laut Pakistan (33° N, 73° E), sebelah utara Bengala Barat di India dan timur laut Bangladesh di mana sering ditemukan pada ketinggian 1.400 m dari permukaan laut, di atas tanah aluvial baru atau dekat aliran sungai. (NASIR, E.; ALI, S. I. (eds.), 1972).
Kelor dibudidayakan dan telah beradaptasi dengan baik di luar jangkauan daerah asalnya, termasuk seluruh Asia Selatan, dan di banyak negara Asia Tenggara, Semenanjung Arab, tropis Afrika, Amerika Tengah, Karibia dan tropis Amerika Selatan. Kelor menyebar dan telah menjadi naturalisasi di bagian lain Pakistan, India, dan Nepal, serta di Afghanistan, Bangladesh, Sri Lanka, Asia Tenggara, Asia Barat, Jazirah Arab, Timur dan Afrika Barat, sepanjang Hindia Barat dan selatan Florida, di Tengah dan Selatan Amerika dari Meksiko ke Peru, serta di Brazil dan Paraguay (JAMA, B.; NAIR, P. K. R.; KURIRA, P. W., 1989).

Sebagian besar tumbuh liar, namun seiring dengan menyebarnya informasi tentang manfaat dan khasiatnya, Kelor mulai dibudidayan untuk diambil polong yang dapat dimakan, daun, bunga, akar dan bijinya untuk dibuat minyak, dan digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional di seluruh negara dimana tanaman ini tumbuh dengan baik.
E.     Morfologi
a.      Akar (radix)

Akar tunggang, berwarna putih. Kulit akar berasa pedas dan berbau tajam, dari dalam berwarna kuning pucat, bergaris halus tapi terang dan melintang. Tidak keras, bentuk tidak beraturan, permukaan luar kulit agak licin, permukaan dalam agak berserabut, bagian kayu warna cokelat muda, atau krem berserabut, sebagian besar terpisah. Akar tunggang berwarna putih, membesar seperti lobak.
Akar yang berasal dari biji, akan mengembang menjadi bonggol, membengkak, akar tunggang berwarna putih dan memiliki bau tajam yang khas. Pohon tumbuh dari biji akan memiliki perakaran yang dalam, membentuk akar tunggang yang lebar dan serabut yang tebal. Akar tunggang tidak terbentuk pada pohon yang diperbanyak dengan stek (LAHJIE, A. M.; SIEBERT, B., 1987).

b.      Batang (caulis)
Kelor termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketingginan batang 7 - 12 meter. Merupakan tumbuhan yang berbatang dan termasuk jenis batang berkayu, sehingga batangnya keras dan kuat. Bentuknya sendiri adalah bulat (teres) dan permukaannya kasar. Arah tumbuhnya lurus ke atas atau biasa yang disebut dengan tegak lurus (erectus). Percabangan pada batangnya merupakan cara percabangan simpodial dimana batang pokok sukar ditentukan, karena dalam perkembangan selanjutnya, batang pokok menghentikan pertumbuhannya atau mungkin kalah besar dan kalah cepat pertumbuhannya dibandingkan cabangnya. Arah percabangannya tegak (fastigiatus) karena sudut antara batang dan cabang amat kecil, sehingga arah tumbuh cabang hanya pada pangkalnya saja sedikit lebih serong ke atas, tetapi selanjutnya hampir sejajar dengan batang pokoknya.

c.       Daun (folium)
Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling (alternate), beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda berwarna hijau muda - setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 - 2 cm, lebar 1 - 2 cm, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul (obtusus), tepi rata, susunan pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas dan bawah halus.

Merupakan jenis daun bertangkai karena hanya terdiri atas tangkai dan helaian saja. Tangkai daun berbentuk silinder dengan sisi atas agak pipih, menebal pada pangkalnya dan permukaannya halus. Bangun daunnya berbentuk bulat atau bundar (orbicularis), pangkal daunnya tidak bertoreh dan termasuk ke dalam bentuk bangun bulat telur. Ujung dan pangkal daunnya membulat (rotundatus) diamana ujungnya tumpul dan tidak membentuk sudut sama sekali, hingga ujung daun merupakan semacam suatu busur.
Susunan tulang daunnya menyirip (penninervis), dimana daun Kelor mempunyai satu ibu tulang yang berjalan dari pangkal ke ujung, dan merupakan terusan tangkai daun.
Selain itu, dari ibu tulang itu ke arah samping keluar tulang–tulang cabang, sehingga susunannya seperti sirip–sirip pada ikan. Kelor mempunyai tepi daun yang rata (integer) dan helaian daunnya tipis dan lunak. Berwarna hijau tua atau hijau kecoklatan, permukaannya licin (laevis) dan berselaput lilin (pruinosus). Merupakan daun majemuk menyirip gasal rangkap tiga tidak sempurna.

d.      Bunga
Bunga muncul di ketiak daun (axillaris), bertangkai panjang, kelopak berwarna putih agak krem, menebar aroma khas. Bunganya berwarna putih kekuning-kuningan terkumpul dalam pucuk lembaga di bagian ketiak dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Malai terkulai 10 – 15 cm, memiliki 5 kelopak yang mengelilingi 5 benang sari dan 5 staminodia. Bunga Kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak.

e.       Buah atau Polong

Kelor berbuah setelah berumur 12 - 18 bulan. Buah atau polong Kelor berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang (Jawa) dengan panjang 20 - 60 cm, ketika muda berwarna hijau - setelah tua menjadi cokelat, biji didalam polong berbentuk bulat, ketika muda berwarna hijau terang dan berubah berwarna coklat kehitaman ketika polong matang dan kering. Ketika kering polong membuka menjadi 3 bagian. Dalam setiap polong rata-rata berisi antara 12 dan 35 biji.

f.       Biji

Biji berbentuk bulat dengan lambung semi-permeabel berwarna kecoklatan. Lambung sendiri memiliki tiga sayap putih yang menjalar dari atas ke bawah. Setiap pohon dapat menghasilkan antara 15.000 dan 25.000 biji/tahun. Berat rata-rata per biji adalah 0,3 g. (Makkar dan Becker, 1997).
F.     Indikasi

Adapun indikasi dari Moringa oliefera adalah sebagai berikut:

G.    Kontra Indikasi
Belum diketahui





H.    Kandungan Kimia
Kandungan kimia dalam daun kelor banyak macamnya.
I.      


II.                Moringa Olifiera Dalam Mencegah Hipertensi
a.      Kandungan Kimia
Tetapi yang menunjukan efikasi terhadap hipertensi adalah Niazimin A, niazimin B dan 4-[(4’-Oasetil-ɑ-1-rhamnosiloksil)benzil)isothiosianat dari ekstrak etanol dari daun  M. Oleifera menunjukan kemampuan aktivitas ipotensif. Adapun kadar yang ditunjukan adalah sebesar 3%.

b.      Mekanisme Kerja
Berikut adalah gambar mekanisme kerja efek antihipertensi


Sirkulasi aliran darah dalam tubuh kita memberikan tekanan pada dinding pembuluh darah. Tekanan darah yang tepat pada pembuluh darah sangat penting, sering disebut sebagai salah satu dari tanda-tanda vital kita. Tekanan darah cenderung meningkat sejalan dengan usia. Sebenarnya, gaya hidup sehat sangat membantu mencegah kenaikan tekanan darah.
Tekanan darah tinggi meningkatkan risiko terkena penyakit jantung, penyakit ginjal, dan stroke. Hal ini sangat berbahaya karena sering tidak menunjukkan tanda-tanda atau gejala terlebih dahulu. Terlepas dari ras, usia, atau jenis kelamin, siapa pun bisa mengalami tekanan darah tinggi. Diperkirakan bahwa satu dari setiap empat orang dewasa Amerika memiliki tekanan darah tinggi. Setelah tekanan darah tinggi berkembang, biasanya akan berlangsung seumur hidup.
Tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko yang paling penting untuk stroke. Tekanan yang sangat tinggi dapat menyebabkan pembekuan dalam pembuluh darah yang melemah, yang kemudian mengalami pendarahan di otak dan hal ini dapat menyebabkan stroke. Tekanan darah tinggi juga dapat menyebabkan pembuluh darah di mata pecah dan mengalami pendarahan. Penglihatan dapat menjadi kabur atau terganggu dan dapat menyebabkan kebutaan.
Sejalan dengan pertambahan usia, arteri di seluruh tubuh “mengeras”, terutama di jantung, otak, dan ginjal. Tekanan darah tinggi dikaitkan dengan arteri yang "kaku" sehingga menyebabkan jantung dan ginjal harus bekerja lebih keras. Ginjal berfungsi sebagai filter untuk membersihkan tubuh dari limbah. Seiring waktu, tekanan darah tinggi dapat mempersempit dan mengentalkan pembuluh darah dari ginjal. Ginjal menjadi kurang cairan, dan limbah menumpuk dalam darah karena fungsi ginjal untuk menyaring tidak berjalan dengan baik dan terjadi apa yang disebut gagal Ginjal.
Tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko utama untuk serangan jantung. Arteri membawa oksigen dalam darah ke otot jantung. Jika jantung tidak bisa mendapatkan oksigen yang cukup, nyeri dada yang dikenal sebagai angina, dapat terjadi. Jika aliran darah tersumbat, maka akan terjadi serangan jantung. Tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko nomor satu untuk gagal jantung kongestif (CHF). CHF adalah kondisi serius di mana jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memasok kebutuhan tubuh.
Nutrisi penting yang dibutuhkan oleh seseorang yang menderita tekanan darah tinggi ditemukan secara alami dalam tanaman Kelor. Arginine merupakan asam amino yang ditemukan dalam tanaman Kelor dan dikenal untuk menyeimbangkan tekanan darah. Kalsium, Magnesium, Kalium, Seng, dan Vitamin E juga ditemukan pada Kelor. Kelor mengandung seluruh nutrisi yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan tekanan darah. Kalsium dibutuhkan untuk relaksasi otot polos dan kontraksi, peningkatan konsumsi kalsium dapat memiliki efek langsung pada pembuluh darah. Penelitian telah menemukan bahwa dibandingkan dengan suplemen, kalsium memiliki dua kali manfaat bagi tekanan darah. Kalsium dari sumber sintetik dapat menyebabkan batu ginjal. Kelor mengandung Kalsium 17 kali lebih banyak dibanding susu. Kelor mengandung kalium 15 kali lebih banyak dari pisang. Kandungan kalium yang tinggi cenderung menurunkan kandungan sodium. Kalium bekerja dengan cara meningkatkan ekskresi natrium dalam urin, yang membantu melebarkan pembuluh darah, dan mengubah interaksi hormon yang mempengaruhi tekanan darah.
Makanan yang mengandung magnesium tinggi sangat bermanfaat bagi penderita hipertensi, kemungkinan besar dengan berkontribusi terhadap relaksasi otot polos pembuluh darah. Kelor juga mengandung magnesium bersama dengan zinc dan vitamin E yang mengambil bagian dalam mengurangi tekanan darah bersama dengan nutrisi lainnya. Kelor mengandung 384 mg magnesium dalam 100 gram tepung daun dan 2,2 kali lebih banyak bioavailable serta mengandung Zinc, 6 kali lebih banyak dibanding almond dan 6,46 kali lebih banyak diserap ke dalam darah.
Moringa oleifera (MO) merupakan kelompok dari genus Moringaceae. MO mengandung beberapa fitokimia yang sangat menarik untuk dikaji untuk kebutuhan medik. Daun MO mengandung glikosida nitril seperti niazirin A dan niazirinin B, dan glikosida mustard oil seperti 4 - [(4'-O-asetil-L-alpha-rhamnosyloxy)-benzil] isothiocyanate, niaziminin A, dan niaziminin B. Glikosida ini dilaporkan memiliki aktifitas hipotensi dan aktivitas antioksidan. Studi Hewan secara in vivo merupakan metode yang tepat untuk menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dari MO selama dua minggu menaikan level nilai dari glutathione (GSH) dalam hati dan mencegah acetaminopheninduced kerusakan hati. Niaziridin, suatu nitril glikosida, adalah bioenhancer untuk obat-obatan dan nutrisi, termasuk vitamin A dan C. Secara klinis, co-administrasi niaziridin berguna untuk mengurangi toksisitas obat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kami berusaha untuk menentukan sifat obat dari ekstrak MO.
Pulmonary hypertension (PH), yang parah dan penyakit lifethreatening pada manusia, ditandai dengan signifikan peningkatan tekanan darah arteri paru (PPA). Untuk menyelidiki penyakit ini, model hewan PH yang disebabkan oleh paparan hipoksia kronis atau monocrotaline (MCT) dari pencatatan yang telah dikumpulkan. MCT adalah alkaloid pyrrolizidine yang dimetabolisme di hati menghasilkan metabolit beracun.
Cedera endotel paru jelas dalam satu minggu dari pencatatan MCT. Patologis lesi menginduksi proliferasi sel otot polos cabang arteri paru. Renovasi adalah Langkah penting dalam pengembangan PH sehalus proliferasi otot meningkatkan daya tahan dalam sirkulasi paru-paru untuk meningkatkan PPA. Ppa secara signifikan meningkat dua minggu setelah perawatan MCT dan lebih parah tiga minggu pasca-MCT. Secara jangka panjang tingkat elevasi PPA mengarah ke kanan kompensasi hipertrofi ventrikel.
Analisis homogenat jaringan paru-paru telah menunjukkan bahwa reaktifitas oksigen spesies berkontribusi terhadap pembuatan PH. Reduksi dari produksi reaktif oksigen spesies, baik pada periode awal atau akhir MCT-induced PH, berhasil dilemahkan oleh pengembangan PH.. Efek ini mencerminkan fakta penangkap oksigen radikal yang efektif baik di pencegahan atau pengobatan PH. Pertimbangan utama pengobatan klinis PH wajib berada di vasodilatasi. Banyak dari vasodilator yang berguna untuk sistem hipertensi pada PH.
Menghirup gas oksida nitrat adalah terapi klinis yang umum untuk PH, tetapi toleransi oleh pasien yang buruk. PH belum dipahami dengan baik dan tidak mudah terdeteksi atau diobati. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan pengobatan yang berguna untuk PH. Mengingat peran spesies oksigen reaktif di PH dan meningkatkan sifat antioksidan dan vasodilatory dari ekstrak MO, hipotesis bahwa ekstrak MO bisa melawan pengembangan PH.


c.       Uji Antihipertensi dengan simplisia Moringa oliefera 
a.      Tekhnik In Vitro
Sebuah jurnal melakukan isolasi konstituen dari beberapa tanaman dengan penjelasan atau anjuran untuk keperluan antihipertensi, spasmolitik atau aktivitas diuretik diuji dalam in vitro pada sampel otot papiler babi-guinea untuk kemungkinan aktivitas blokir saluran kalsium. Di antara senyawa terisolasi beberapa phenylpropanoids minyak esensial (misalnya apiol), mono-dan seskuiterpen turunan (misalnya bisabolol-oksida A), naphthoquinones (misalnya juglone, 7-methyljuglone, plumbagin, konstituen bawang putih), beberapa fenolat dan alkaloid menunjukkan baik untuk aktivitas moderat (ICso :15-10011M). Beberapa senyawa diuji menyebabkan durasi lama kontraksi, menunjukkan Efek tambahan blokir ion K+. (Wang, 1999)
Akhirnya, berbagai konstituen dengan aktivitas antihipertensi diisolasi dari Artemisia scoparia (Gilani et al.,1994) dan Moringa oleifera (Faizi et al, 1994., 1995) yang mana mekanisme blokir saluran kalsium anya dapat disarankkan tetapi tidak memiliki nilai. Sebuah review di Ca-antagonis diisolasi dari tanaman telah ditulis oleh (Vuorela 1997).

b.      Tekhnik In Vivo
Tujuan dari penelitian ini adalah memeriksa efek dari ekstrak MO pada MCT-diinduksi PH. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak MO melemahkan PH di tikus melalui peningkatan aktivitas antioksidan. Sejauh kita menyadari, laporan ini adalah yang pertama untuk menunjukkan yang farmakologis manfaat dari ekstrak MO PH.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak dari Moringa oleifera (MO) pada pengembangan monocrotaline hipertensi (MCT)-induksi paru (PH) pada tikus galur Wistar. Sebuah ekstraksi etanol dilakukan pada daun MO kering, dan analisis dilakukan dengan menggunakan instrumen  HPLC, hasilnya senyawa yang terdeteksi adalah niaziridin dan niazirin dalam ekstrak. PH diinduksi dengan injeksi subkutan tunggal MCT (60 mg / kg) yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah arteri paru (PPA) dan penebalan lapisan medial arteri paru pada tikus. Tiga minggu setelah induksi, dari hasil catatan penelitian toksisitas akut ekstrak MO ke tikus nilai Ppa  menurun dengan relasi nilai dosis, yang mencapai signifikansi statistik dengan dosis 4,5 mg beku-kering ekstrak per kg berat badan tikus. Penurunan PPA menyarankan  bahwa ekstrak langsung dapat membuat efek rileks pada arteri paru. Dari hasil pencatatan uji toksisitas kronis efek ekstrak MO pada PH, kontrol, dan MCT MCT + MO kelompok yang ditunjuk. Tikus pada kelompok kontrol menerima suntikan saline, MCT dan MCT + MO kelompok menerima MCT untuk menginduksi PH. Selama minggu ketiga setelah perrlakuan kelompok  MCT MCT, MCT + MO menerima setiap hari pelakuan i.p. suntikan ekstrak MO (4,5 mg beku-kering ekstrak / kg berat badan). Dibandingkan kelompok kontrol, kelompok MCT memiliki  nilai Ppa yang tinggi dan ketebalan lapisan dalam arteri paru-paru. Perlakuan uji kronis dengan ekstrak MO terbalik dengan perubahan induksi MCT. Selain itu, MCT kelompok memiliki ketinggian signifikan dalam aktivitas superoksida dismutase ketika dinormalisasi oleh ekstrak MO perawatan. Sebagai kesimpulan, MO ekstrak berhasil menurunkan PH melalui direct vasodilatasi dan peningkatan potensi aktivitas antioksidan.

Metode yang digunakan adalah dengan uji toksisitas akut dan toksisitas kronis.
Berikut adalah hasil pengujianGambar arteri dari kelompok tikus yang dibedah. Tiga kelompok tersebut adalah kelompok kontol, kelompok induksi MCT+MO, dan kelompok induksi MO. Fotomikrograf tersebut menunjukan efek vesodilitas dari arteri PH.
             

Berikut adalah fotomikrograf dari lapisan otot sampel, dimana gambar pertama merupakan kontrol, yang kedua merupakan sampel otot yang diinduksi oleh MCT, dan yang ke tiga adalah sampel otot yang di induksi senyawa MCT dan MO.

secara grafik ketebalan paru-paru juga terlihat. Ketika tikus galur wistar diinduksi dengan MCT maka penebalan terebut yang menyebabkan tekanan darah semakin kuat yang menyebabkan awal mula penyakit hipertensi. Tetapi ketika dilakukan induksi MO pada sazmpel ketiga , ketebalan arteri pulmonalisnya menurun sehingga efek dari MO dapat dikatakan antihipertensi.

PATOFISOLODI DAN GEJALA

A.    PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

hipertensi-atau-darah-tinggi.jpg (960×680)

gejalahipertensi.com


Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer ( Brunner & Suddarth, 2002 ).

B.     TANDA DAN GEJALA HIPERTENSI
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi : ( Edward  K Chung, 1995 )
1.         Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2.         Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
Berikut ini adalah beberapa faktor yang termasuk ke dalam patofisiologi hipertensi:
a.       Faktor Genetik
Seseorang dengan riwayat hipertensi dalam keluarganya akan memiliki kecenderungan lebih besar menderita hipertensi
b.      Lingkungan Janin
Bayi yang lahir dengan berat badan kurang karena kurang gizi selama kehamilan maka lebih besar kemungkinannya untuk menderita hipertensi.
c.       Peningkatan aktifitas sistem syaraf simpatis
Peningkatan aktifitas syaraf simpatis akan menyebabkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung meningkat sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat.
d.      Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Ginjal memproduksi renin yang mengkatalisa langkah pertama dari urutan kejadian yang menghasilkan angiotensin II. Dimana angiotensin II memiliki efek meningkatkan tekanan darah.
e.       Retensi natrium oleh ginjal
Ginjal menahan natrium secara berlebihan. Kelebihan natrium terlibat dalam meningkatkan tekanan darah.
f.       Hipertrofi pembuluh darah
Pembuluh darah yang secara terus menerus terpapar tekanan darah tinggi akan mengalami hipertrofi atau penebalan sebagai mekanisme adaptasi terhadap tekanan darah tingi. Akibatnya tekanan darah akan tetap tinggi.
g.      Penurunan aktivitas sistem vasodilatasi
Penurunan aktivitas sistem vasodilatasi atau sistem yang mengatur relaksasi pembuluh darah disebabkan karena gangguan pembentukan bradikinin yang bersifat vasodilator.
h.      Hiperinsulinemia
Hiperinsulinemia menyebabkan vasokonstriksi atau penegangan pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.

i.        Disfungsi Endotel

Endotel pembuluh darah pasien hipertensi mengalami penurunan produksi EDRF Endothelium-Derives Relaxing Factor atau juga disebut Nitric Oxide.

PATOFIOLOGI HIPERTENSI

 PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
A.    PENGERTIAN
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg.( Smith Tom, 1995 )  Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg ( Kodim Nasrin, 2003 ). Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan tekanan diastolic karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik ( Smith Tom, 1995 ).

B.     PENYEBAB
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu : ( Lany Gunawan, 2001 ).
1.      Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
2.      Hipertensi  sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
Hiperrtensi primer terdapat pada lebih dari 90 % penderita hipertensi, sedangkan 10 % sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa factor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Factor tersebut adalah sebagai berikut :
a.           Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi

b.           Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat ), jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan ) dan ras ( ras kulit   hitam   lebih  banyak dari kulit putih ).

c.           Kebiasaan hidup

Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr), kegemukan atau makan berlebihan, stress dan pengaruh lain misalnya merokok, minum alcohol, minum obat-obatan (ephedrine, prednison, epineprin).

Tuesday, September 15, 2015

TERAPI HERBAL ANTIINFLAMASI

TERAPI HERBAL ANTIINFLAMASI

Pendahuluan
Inflamasi adalah respon biologis kompleks dari jaringan vaskuler atas adanya bahaya, seperti pathogen, kerusakkan sel, atau iritasi. Ini adalah usaha perlindungan diri organisme untuk menghilangkan rangsangan penyebab luka dan inisiasi proses penyembuhan jaringan. Jika inflamasi tidak ada maka luka dan infeksi tidak akan sembuh dan akan menggalami kerusakkan yang lebih parah. Inflamsi yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan penyakit, seperti demam, atherosclerosis, dan reumathoid arthritis. (Gard, 2001) Inflamasi dapat dibedakan atas inflamasi akut dan kronis. Inflamasi akut adalah respon awal tubuh oleh benda berbahaya dan meningkat dengan meningkatnya pergerakkan plasma dan leukosit dari darah ke jaringan luka. Reaksi biokimia berantai yang mempropagasi dan pematangan respon imun, termasuk system vaskuler, system imun, dan berbagai sel yang ada pada jaringan luka. Inflamasi kronis adalah atau inlamasi yang berpanjangan memicu peningkatan pergantian tipe sel yang ada pada tempat inflamasi dan dicirikan dengan kerusakkan dan penutupan jaringan dari proses inflamasi. (Gard, 2001)


  
Manifestasi klinis inflamasi
Fenomena inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala umum proses inflamasi yang sudah dikenal yaitu, kolor, rubor,tumor, dolor, dan function laesa. Selama proses inflamasi terjadi banyak mediator kimia yang dilepaskan secara local antara lain histamine, 5-hidroksitriptamin (5-HT), factor kemotatik, bradikinin, leukotrien, dan PG.
Dengan migrasi sel fagosit kedaerah inflamasi terjadi lisis membrane lisozim dan lepasnya enzim pemecah. PG hanya berperan pada nyeri yang terkait dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. PG menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimia seperti bradikinin dan histamine merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. (Gard, 2001)
Gambar ini memperlihatkan ada tiga proses yang timbul akibat respon tubuh. Pertama adalah reaksi bawaan. Kerusakkan seluler mennyebabkan pelepasan berbagai mediator yang dihasilkan dari dalam plasma atau dalam sel. Beberapa diantaranya adalah histamine, prostaglandin, leukotrien. Dalam respon medioator adalah vasodilatasi local, yang meningkatkan aliran darah dan permebialitas vaskuler, hal itulah yang menyebabkan terjadinya kemerahan, panas dan bengkak yang terlihat saat inflamasi. Eksudat dari kapiler tidak hanya mengandung mediator, tapi juga mengandung fragment dari protein asing atau organisme penginfeksi yang akan dibawa ke jaringan limpa untuk menstimulasi pembentukkan antibody. Benda darah seperti neutrofil dan monosit juga bergerak keluar dari pembuluh darah, ditarik oleh chemotaxin yang juga diproduksi akibat infeksi organism. Beberapa mediator inflamasi juga berperan pada ujung syaraf local untuk menstimulasi rasa nyeri.
Mekanisme pertahanan tubuh lainnya adalah acquired, proses imun spesifik, dinamakan demikian karena memproduksi sel baru dan spesifik untuk infeksi organism atau protein asing; meliputi pengenalan protein asing (antigen) oleh limfosit. Dalam kasus system imun seluler, limfosit T adalah sel T sitotoksik, sehingga dapat menyerang sel penginfeksi, atau sel T helper yang mensekresikan sitokin ( yang juga berpotensi pembentukkan antibody oleh limfosit B atau mengaktivkan makrofag. Limfosit B memproduksi antibody yang berinteraksi dengan antigen untuk mengaktifkan system komplemen, yang hasilnya pencernaan atai inaktivasi benda asing. Tipe antibody spesifik, IgE, menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dari sel mast.


Antiinflamasi
 Mekanisme homeostatik antiinflamasi merupakan kebalikan dari proses ini karena zat penginfeksi dibersihkan oleh sistem imun bawaan dan adaptive.

Antiinflamasi dibedakan atas dua yakni:
1. Antiinflamasi steroid
2. Antiinflamasi nonsteroid

A.    Antiinflamasi steroid Mekanisme kerja antiinflamasi steroid (Thruk, 2005).
1.      Glukokortikoid membentuk komplek dengan reseptor glukokortikoid, kemudian dibawa ke nukleus dan berikantan dengan glukokortikoid respone element di DNA. Dengan melibatkan proteinkoaktivator dan korepresor yang akan memodifikasi struktur kromatin, kemudian memfasilitasi atau menhambat perakitan dari mesin transkripsi basal dan inisiasi transkripsi oleh RNA pol II.

2.      Regulasi_glukokortikoid-GRE yang dipengaruhi oleh interaksi glukokortikoid-GRE dengan faktor transkripsi lain, seperti NFkB.

3.      glukokortikoid mensignal berasosiaasi reseptor membran dan second messenger. Ikatan reseptor dengan kortisol memiliki afinitas yang tinggi sehingga menyebabkan pelepasan molekul HSP dari reseptor.

 Didalam sitoplasma, kompleks tersebut akan menghambat produksi prostaglandin melalui 3 mekanisme :
1. induksi da aktivasi annexin
2. induksi MSPK phospatase 
3. penekanan transkripsi siklooksigenase


B.     Antiinflamasi nonsteroid
Biasanya obat ini memiliki tiga efek utama yakni antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Mekanisme antiinflamasi non steroid adalah menghambat enzim siklooksigenase COX dan juga menghambat sintesis prostaglandin. AINS banyak digunakan pada pasien pediatric. Obat ini merupakan bahan aktif yang secara farmakologi tidak homogen dan terutama bekerja menghambat produksi prostaglandin serta digunakan untuk perawatan nyeri akut dan kronik. Obat ini mempunyai sifat mampu mengurangi nyeri, demam dengan inflamasi, dan yang disertai dengan gangguan inflamasi nyeri lainnya.1 Dalam prakteknya dokter selalu menanggulangi keluhan rasa sakit atau nyeri pada pasien dengan pemberian obatobatan analgetika sederhana, dan pada kenyataannya belum mampu mengontrol rasa sakit akibat inflamasi.
AINS merupakan sediaan yang paling luas peresepannya terutama pada kasus-kasus nyeri inflamasi karena efeknya yang kuat dalam mengatasi nyeri inflamasi tingkat ringan sampai sedang. Dalam peresepan AINS hal yang terpenting adalah pertimbangan efek terapi dan efek samping yang berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan obat ini, terutama pemberian pada anak. Dimana efek samping AINS dapat terjadi pada berbagai organ tubuh terpenting seperti saluran cerna, jantung dan ginjal, sedangkan organ-organ vital pada anak masih mengalami perkembangan menuju kesempurnaan.
Tentunya hal ini patutlah menjadi perhatian, khususnya menyangkut pengetahuan farmakokinetik dan farmakologik obat atau patofisiologi proses penyakit yang akan diterapi. Seiring dengan perkembangan sediaan AINS, para ahli mengupayakan penyediaan obat ini dengan efek samping yang seminimal mungkin, diantaranya merubah formulasi dan penemuan sediaan AINS baru. Akan tetapi ternyata sediaan terkinipun tidak mampu memberikan solusi yang terbaik sebab disatu sisi memberikan efek samping minimal terhadap suatu organ tubuh tertentu, tetapi memberi efek samping yang lebih besar terhadap organ tubuh lainnya. Untuk itu hal yang terbaik dilakukan adalah menghindari peresepan yang tidak diperlukan, sebab resikonya akan lebih besar jika kontraindikasi AINS tidak diindahkan atau tidak menjadi perhatian yang utama, khususnya pemberian pada anak.
Mekanisme dan sifat dasar ains, Obat analgesik anti inflamasi non steroid merupakan suatu kelompok sediaan dengan struktur kimia yang sangat heterogen, dimana efek samping dan efek terapinya berhubungan dengan kesamaan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim cyclooxygenase (COX). Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir memberikan penjelasan mengapa kelompok yang heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping, ternyata hal ini terjadi berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Mekanisme kerja yang berhubungan dengan biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan yang memperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometason menghambat produksi enzimatik PG. Dimana juga telah dibuktikan bahwa jika sel mengalami kerusakan maka PG akan dilepas.Namun demikian obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrin,yang diketahui turut berperan dalam inflamasi. AINS menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat cyclooxysigenase dengan cara yang berbeda.
AINS dikelompokkan berdasarkan struktur kimia,tingkat keasaman dan ketersediaan awalnya. Dan sekarang yang popoler dikelompokkan berdasarkan selektifitas hambatannya pada penemuan dua bentuk enzim constitutive cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible cycloocygenase-2 (COX-2).COX-1 selalu ada diberbagai jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan fisiologi tubuh seperti produksi mukus di lambung tetapi sebaliknya ,COX-2 merupakan enzim indusibel yang umumnya tidak terpantau di kebanyakan jaringan, tapi akan meningkat pada keadaan inflamasi atau patologik. AINS yang bekerja sebagai penyekat COX akan berikatan pada bagian aktif enzim,pada COX-1 dan atau COX - 2, sehingga enzim ini menjadi tidak berfungsi dan tidak mampu merubah asam arakidonat menjadi mediator inflamasi prostaglandin.3,4 AINS yang termasuk dalam tidak selektif menghambat sekaligus COX-1 dan COX-2 adalah ibuprofen,indometasin dan naproxen.
Asetosal dan ketorokal termasuk sangat selektif menghambat menghambat COX-1. Piroxicam lebih selektif menyekat COX-1, sedangkan yang termasuk selektif menyekat COX-2 antara lain Celecoxib dan rofecoxib sangat selektif menghambat COX-2.5 Penggunaan ains pada berbagai penyebab AINS efektif mengurangi nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang seperti pada nyeri dental.untuk nyeri yang lebih berat diperlukan analgesik yang tidak menimbulkan ketergantungan,misalnya tramadol. AINS memiliki efek analgesik pada nyeri yang berasal dari integument bukan yang berasal dari viscera, seperti sakit kepala,myalgia dan abralgia.6 Setiap sediaan AINS memberikan efek anti-inflamasi yang sepadan. Colberg dkk pada tahun 1996 mengemukakan bahwa antara diklofenak dengan meloksikam tidak ada perbedaannya dalam hal khasiat analgetik antiinflamasi, baik diberikan peroral ataupun dengan injeksi. Studi banding yang dilakukan memperlihatkan nyeri, panas dan inflamasi pada pemberian nimesulide 200 mg/hari peroral atau 400 mg/hari per rektal sama atau lebih baik dibanding seaperase ( 15 mg), flurbiprofen (300 mg), deklofenak (150 mg), naproxen (1000 mg), fiprazon, piroksikam, asam mefenamat pada penderita dengan inflamasi telinga, hidung, tenggorokan nyeri kanker,gangguan ginekologi, kelainan urogenital, cidera musculoskeletal akut, tromboflebitis, nyeri punggung belakang, tendonitis dan penyakit odonstomatologi serta pasca tindakan bedah. 7,8 Pemilihan ains pada anak AINS banyak digunakan untuk pasien pediatrik.
Satu-satunya obat dari kelompok indol yang diizinkan oleh FDA adalah tolmetin atau naproksen sebagai analgesik pediatrik. Indometason adalah salah satu penghambat prostaglandin yang paling kuat, tetapi penggunaan pada pasien anak hanya terbatas pada terapi duktus arteriosus. Akan tetapi indometason bermanfaat dalam mengurangi kebutuhan akan analgesia narkotik pasca bedah pada anak-anak,sayangnya indometason mempunyai sifat toksik pada ginjal. Pemilihan obat AINS pada anak yang sudah diuji penggunaanya pada anak, yaitu aspirin,naproksen atau tolmetin, kecuali untuk pemberian aspirin pada anak kemungkinan dapat terjadi Reye’s Syndrome. Akan tetapi untuk menurunkan panas atau demam pada anak aspirin dapat diganti dengan asetaminofen.
Yang menjadi perhatian adalah nimesulid tidak dianjurkan untuk anak dibawah 12 tahun. Sebagai antipiretik-analgesik untuk anak , parasetamol juga dianggap suatu pilihan yang tepat, akan tetapi tetap harus mempertimbang kan kemungkinan efek samping terhadap kondisi tubuh anak. Belakangan ini ibufrofen turut menjadi pilihan dan terbukti aman untuk anak-anak.1,2,9 Pertimbangan pemilihan obat AINS pada anak ini tentunya didasarkan pada hasil penelitian para ahli yang telah diuji keamanannya. Hal yang harus menjadi perhatian penting adalah pemberian obat secara rasional dan pemahaman dasar gambaran farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Farmakokinetik merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh, meliputi absorbsi obat, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dimana keasaman lambung yang lebih rendah pada anak dibanding orang dewasa dapat mempengaruhi absorbsi obat – obat tertentu, demikian pula dengan waktu pengosongan lambung yang lebih lambat pada anak juga dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat.
Pada proses metabolisme obat, cenderung lebih lambat pada neonatus dan meningkat secara progresif selama beberapa bulan kehidupan, dan akan melewati kecepatan orang dewasa pada beberapa tahun kehidupan. Hal ini berpengaruh pada waktu paruh obat yang dapat lebih singkat akibat meningkatnya laju metabolisme. Untuk farmakodinamik menyangkut mekanisme kerja agen-agen farmakologik, dimana pada individu yang belum matang dapat berubah antara lain karena pengurangan atau peningkatan jumlah reseptor tempat bekerjanya obat ( hormone, neurotransmitter) dan ketidakmatangan metabolik struktur dan fungsional dari reseptor.13,14,16 Efek samping ains Obat-obat AINS yang termasuk dalam penghambat selektif COX-1 seperti ketoprofen, piroxicam, tenoxicam, indometasin,dan aspirin, memberikan efek analgesik yang cukup baik dan nyata akan tetapi sayangnya memberi resiko toksisitas saluran cerna yang besar, dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan perdarahan pasca bedah. Oleh karena itu penggunaan obat ini dihindari pada pasien dengan riwayat gastritis atau ulkus peptikum dan hemofili, juga kita harus hati-hati pada pasien penerima kortikosteroid atau obat-obatan antikoagulan. Nefritis interstisial, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik telah dilaporkan terjadi pada anak-anak setelah pemberian AINS dalam jangka panjang . Ibufrofen, naproksen dan indometason diduga dapat memicu reaksi hipersensitivitas, terutama ruam kulit dan bronkospasme.2,3,4 Hal yang cukup membantu dalam pemberian AINS adalah adanya sediaan penghambat selektif COX-2 yang dikembangkan dan digunakan untuk mengurangi toksisitas pada saluran cerna.
Celecoxib dan refecoxib yang secara spesifik menghambat COX- 2 menunjukkan efek samping yang minimal pada saluran cerna dibandingkan diklofenak, naproxen dan ibufrofen. Akan tetapi efek ini bermakna hanya pada penggunaan jangka pendek selama kurang dari enam bulan. Pada penggunaan jangka panjang panjang diklofenak masih lebih aman dibanding celecoxib. Namun sayangnya dari segi kajian farmakologi molekuler diketahui bahwa COX-2 sangat dibutuhkan dalam menjaga kesehatan jantung. Pada penelitian Shinmura dkk disimpulkan bahwa COX -2 adalah cardioprotective protein, sehingga jika aktifitas COX-2 dihambat akan berakibat semakin meningkatnya kejadian kardiovaskuler.
Selain itu hambatan terhadap aktivitas COX akan menurunkan produksi vasodilator prostaglandin sehingga tidak ada mediator yang mampu mengatasi efek vasokonstriktor katekolamin, dimana akibatnya akan meningkatkan tekanan darah penderita.3,4,10
MONOGRAFI SIMPLISIA
Bandotan (Ageratum conyzoides)

   1.     Deskripsi Tanaman

Ø 
Taksonomi
v  Kingdom         : Plantae
v  Sub kingdom   : Tracheobionta
v Divisi               : Magnoliophyta
v Sub divisi        : Angiospermae
v Super divisi     : Spermatophyta
v Kelas               : Magnoliopsida
v Sub kelas         : Asteridae
v Ordo                : Asterales
v Famili              : Asteraceae
v Genus              : Ageratum L.
v Spesies             : Ageratum conyzoides L.(1)

Ø  Nama Latin
Ageratum conyzoides Linne.

Ø  Sinonim
Cacalia mentrasto Vell., Ageratum album Stend., A. caeruleum Hort. ex. Poir., A. coeruleum Desf., A. ciliare Lour. (non Linn), A. cordifolium Roxb., A. hirsutum Lam., A. humile Salisb., A. latifolium Car., A. maritimum H.B.K., A. mexicanum Sims., A. obtusifolium Lam., A. odoratum Vilm., Eupatorium conyzoides, Carelia conyzoides.

Ø  Nama Simplisia
Agerati Herba (herba bandotan) dan Agerati Radix (akar bandotan).
  
Ø  Nama Daerah
v  Sumatera : bandotan, daun tombak, siangit, tombak jantan, siangik kahwa, rumput tahi ayam.
v  Jawa& Madura : bandotan, babadotan, babandotan, b. leutik, b. beureum, b. hejo, jukut bau, ki bau, berokan (Sunda), wedusan, dus wedusan, dus bedusan, tempuyak (Madura).
v  Sulawesi : dawet, lawet, rukut manooe, rukut weru, sopi.

Ø  Nama Asing
v  Catinga de bode, catinga de barrao, erva de sao joao, maria preta, mentrasto, erva de sao jose, picao roxo, erva de santia-lucia, camara-opela, agerato, camara apeba, camara iapo, camara jape, erva de santa maria, macela de sao joao, macela francesa, matruco (Brazil)
v  Pokasunga, Odemadanga (India), hierba dulce (Meksiko),botobotekoro (Fiji), unchunti (Indo-Fijian), Sheng hong ji (C), bulak manok (Tag.), ajganda, sahadevi (IP), billy goat weed, white weed, bastard agrimony (I), celestine, eupatoire bleue.(2)

   2.     Deskripsi Simplisia
ü  Bandotan tergolong ke dalam tumbuhan terna semusim, berbau khas seperti bau kambing, tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30-90 cm, dan bercabang.
ü  Batang bulat berambut panjang, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar.
ü  Daunbertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang (compositae), helaian daunbulat telur dengan pangkal membulat dan ujung runcing, tepi bergerigi, panjang 1-10 cm, lebar 0,5-6 cm, kedua permukaan daun berambut panjang dengan kelenjaryang terletak di permukaan bawah daun, warnanya hijau.
ü  Bunga majemukberkumpul 3 atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai, warnanya putih. Panjang bonggol bunga 6-8 mmberisi 60–70 individu bunga. Di ujung tangkai yang berambut, dengan 2–3 lingkaran daun pembalut yang lonjong seperti sudip yang meruncing. Mahkota dengan tabung sempit, putih atau ungu.
ü  Buahnya berbentuk kecil seperti buah kurung (achenium) bersegi-5, panjang 2 mm, berambut sisik 5 dan berwarna hitam.
Ø  Habitat
Bandotan dapat diperbanyak dengan biji. Bandotan berasal dari Amerika tropis. Di Indonesia, bandotan merupakan tumbuhan liar dan lebih dikenal sebagaitumbuhan pengganggu (gulma) di kebun dan di ladang. Tumbuhan ini, dapatditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan, tanggul, dan sekitar saluran airpada ketinggian 2.100 m di atas permukaan laut (dpl). Jika daunnya telah layu danmembusuk, tumbuhan ini akan mengeluarkan bau tidak enak. (2-4)

   3.     Kandungan Kimia
Ø  Daun dan bunga Ageratum conyzoides mengandung saponin, flavonoid, terpen dan polifenol, di samping itu daunnya juga mengandung minyak atsiri. Kaempferol, glukosida dan rhamnosida, kuersitrin, skutellarein, eupalestin, khromenes, stigmast-7-en-3-ol, betasitosterol, stigmasterol, asam fumarat, asam kaffeat, alkaloida pirolizidin, oksigen heterosiklis, derivat ageratokromen, kumarin, alkana.
Ø  Daun bandotan mengandung agekoniflavon, ageratokrromen; 3’, 4’-dihidro-6,6’,7,7’-tetrametoksi-2,2,2’,2’-tetrametil-3,4’-bi-2H-1-benzopiran; 3’, 4’, 5, 5’, 6, 8-heksamethoksiflavon; 8-hidroksi-3’, 4’, 5, 5’,6,7-heksamethoksiflavon, 6-metoksi-2,2-dimetil-2H-1-benzopiran; 7-metoksi-2,2-dimetil-2H-1-benzopiran.(2)


  
   4.     Efek Farmakologi (Invitro / Invivo)
Ø  Pemberian ekstrak etanol daun bandotan (Ageratum conyzoides) dengan dosis berulang 1 g/kg BB secara oral pada tikus putih jantan memberikan efek antiradang yang berarti. (5)
Ø  Pemberian secara oral ekstrak daun bandotan (Ageratum conyzoides)  (dalam etanol 95%, dikentalkan) dengan dosis berulang 0,5 g/kg BB yang disuspensikan dengan gom arab 5% memberikan inhibisi radang sebesar 52,32% dengan efek yang bertahan sampai 360 menit pada pengujian terhadap tikus putih jantan. (6)
Ø  Pemberian secara oral ekstrak daun bandotan (Ageratum conyzoides)  (dalam etanol 95%, dikentalkan) dengan dosis berulang 0,8 g/kg BB yang disuspensikan dengan gom arab 5% memberikan inhibisi radang dapat mencapai lebih dari 85% pada pengujian terhadap tikus putih jantan. (6)
Ø  Ekstrak metanol Herba Ageratum conyzoides L. memiliki aktivitas sitotoksik pada kultur sel mieloma mencit. Hal ini didukung oleh sebuah penelitian menggunakan teknologi HighThroughput Screening (HTS) dengan enzim DNA Topoisomerase sebagai molekul target dan memberikan hasil bahwa ekstrak metanol herba tanaman tersebut mampu menghambat enzim DNA Topoisomerase II. (7)(8)
Ø  Subfraksi dari ekstrak etil asetat dari daun tanaman bandotan memiliki aktivitas antibakteri berspektrum luas dengan nilai MIC tertinggi terhadap bakteri S. aureus adalah 25 mg/ml dan 50 mg/ml terhadap E. coli.(9)
Ø  Infusa daun bandotandengan konsentrasi 0,5%; 1%; 2%; 3% dan 5% memiliki efek larvisida. LC50 infusa daun bandotan adalah 0, 444%. (10)
Ø  Penggunaan konsentrasi menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti terlihat pada konsentrasi 0,8ml, sampai konsentrasi 1,2ml sari organ daun dan akar mampu memberikan pengaruh dengan konsentrasi yang paling tinggi yaitu 1,2ml sehingga konsentrasi 0,8% sudah dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti.(11)
Ø  Efek antipiretik Ageratum conyzoides terhadap tikus demam kira-kira sepertiga kapasitas penurunan demam oleh asetosal, Jasminum sambac tidak memberikan efek antipiretik yang jelas dan Caesalpinia pulcherrima memberikan kapasitas penurunan demam kira-kira setengah kali dari asetosal. Pengaruh Ageratum conyzoides, Caesalpinia pulcherrima dan asetosal relatif kecil terhadap suhu tikus normal. Penurunan suhu normal terbesar terjadi pada pemberian Jasminum sambac dosis 2 g/kg bb yaitu sebesar 1,600C. Ageratum conyzoides, Jasminum sambac dan Caesalpinia pulcherrima tidak berpengaruh terhadap bobot tikus.(12)
Ø  Ekstrak dan feaksi etil asetat daun babadotan menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap S. Aureus, P. Aeruginosa dan Candida albicans. Sedangkan ekstrak dan fraksi etanol aktif terhadap C. Albicans, M. Gypseum dan A. Niger. Sediaan salep yang mengandung ekstrak etil asetat menunjukkan aktivitas antimikroba yang lebih rendah dibandingkan dengan salep yang mengandung ekstrak etanol. Hasil uji aktivitas antiinfeksi ekstrak pada punggung kelinci menunjukkan bahwa daerah infeksi yang diberi sediaan salep sembuh dalam waktu 3-5 hari sedangkan kelompok kontrol yang tidak diobati sembuh dalam waktu 9 hari. (13)
Ø Uji aktivitas insektisida ekstrak dan minyak dari tujuh belas tanaman obat dari Brazi ltelah di teliti menggunakan bioassay larvisida Aedes aegypti larvisida. Minyak dari Anacardium occidentalis, Copaiferalangsdorffii, Cara paguianensis, Cymbopogonwinterianus dan Ageratum conyzoides menunjukan aktivitas yang tinggi dengan masingg-masing nilai LC50dari14.5,4157, 98 dan148 µg/l. Penerapan potensi minyak kacang mete, oleh industri dengan produk yang nilai komersialnya rendah, dapat diusulkan dalam pengendali anvektorp enyakit demam berdarah dan kuning.
Ø    Kulit batang Parkia big lobosaJacq. dan daun Ageratum conyzoidesLinn. Diteliti aktivitas anti bakteri dan sitotoksiknya. Semua fraksi daun A.conyzoides dan eterfraksi petroleumP. big lobosa adalah sitotoksik terhadap sel SK-MES 1, yang sampai batas tertentu dapat mendukung inklusi tradisional mereka untuk pengobatan kanker. Hasil keseluruhan terbukti bahwa ekstrak tanaman dapat menjadi sumber potensial obat anti bakteri dan anti kanker baru.
Ø     Aktivitas in vitro etanol, petroleum eter, etilasetat, butanol, dan air ekstrak conyzoidesa. di saring dalam beberapa baris sel kanker menggunkan sulphorhodamineb ( SRB ) assay. ekstrak etil asetat menunjukan aktivitas sitotoksi tertinggi pada-549 dan P-388 sel kanker dengan nilai IC50dari0, 68 dan 0,0003mg/ml. A.conyzoides memiliki sifat anti kanker dan anti radikal. 
Ø  Ageratum conyzoidesmemiliki efek antikoksidial.
Ø    Ekstrak air A. conyzoides yang dikombinasikan dengan klorokuin dan artesunat berpotensi sebagai antimalaria dimana menginduksi plasmodiasis pada tikus.
Ø Daun dan kandungan mineral A. conyzoides memiliki efek hipoglikemik dan antihiperglikemik. (19)(20)
Ø    Hydroalcohol di ekstrak dan Ageratumconyzoides L. pada dosis 250, 500 dan 1000mg/kg menunjukan aktivitas anti histamin mendalam menghambat clonidineyang di insuksi katalepsi pada Tikus.
Ø Penggunaan oral ekstrak etanol pada tingkat dosis 500 dan 750mg/kg secara signifikan melindungi lesi lambung sebesar 80. 59 dan 89, 33%

   5.     Indikasi – Kontraindikasi
Ø  Indikasi
Antiinflamasi, antikanker, antimikrobial, antioksidan, antipiretik, analgetik, antikoksidial, antimalaria, antidiabetes, antiplasmodial, antikonvulsan, antihistamin, antiprotozoal, gastroprotektif, menyembuhkan luka.(2-31)

Ø  Kontraindikasi
Wanita hamil.

Ø  Peringatan
       Belum diketahui.

   6.     Data Klinik
Belum diketahui.

   7.     Reaksi yang tidak dikehendaki
Tumbuhan ini menyebabkan muntah muntah dan sakit perut yang teramat sangat.  Ageratum conyzoides L. dapat juga menyebabkan kerusakan pada hati.(3)

   8.     Interaksi Obat
Belum diketahui.

   9.     Dosis, Data Keamanan (LD50, Sub Kronik)
Ø  Penyiapan dan Dosis
Rebus 30 – 60  g herba bandotan kering segar atau 15 – 30 gherba kering dalam tiga gelas air sampai tersisa menjadi satu gelas. Selain direbus, herba segar dapat juga ditumbuk. Air rebusan atau air perasannya diminum satu gelas sehari.(3)
§  Infus, sehari dua kali 1 gelas
§  Tingtur, 2-3 ml sehari dua kali
§  Serbuk (dalam kapsul), 1-2 g sehari dua kali(2)
Untuk pemakaian luar, tumbuk herba segar sampai halus. Selanjutnya, campurkan minyak sayur sedikit dan aduk sampai rata, lalu bubuhkan pada luka yang masih baru, bisul, eksim, dan penyakit kulit lainnya (seperti kusta/lepra).
Cara lain, giling herba kering menjadi serbuk, lalu tiupkan ke kerongkongan penderita yang sakit tenggorokan. Selain itu, daun segar dapat diseduh dan air seduhannya dapat digunakan untuk membilas mata, sakit perut, dan mencuci luka.

Ø  Contoh Pemakaian di Masyarakat :
v  Sakit telinga tengah akibat radang
Cuci herba bandotan segar secukupnya, lalu tumbuk sampai halus. Hasilnya, peras dan saring. Gunakan air perasan yang terkumpul untuk obat tetes telinga. Sehari 4 kali, setiap kali pengobatan sebanyak 2 tetes.
v  Luka berdarah, bisul, eksim
Cuci herba bandotan segar secukupnya sampai bersih, lalu tumbuk sampai halus. Turapkan ramuan ke bagian tubuh yang sakit, lalu balut dengan perban. Dalam sehari, ganti balutan 3-4 kali. Lakukan pengobatan ini sampai sembuh.
v  Bisul, borok
Cuci satu tumbuhan herba bandotan segar sampai bersih. Tambahkan sekepal nasi basi dan seujung sendok teh garam, lalu giling sampai halus. Turapkan ke tempat yang sakit, lalu balut dengan perban.
v  Reumatik, bengkak karena keseleo
Sediakan satu genggam daun dan batang muda tumbuhan bandotan segar, satu kepal nasi basi, dan 1/2 sendok teh garam. Selanjutnya, cuci daun dan batang muda sampai bersih, lalu tumbuk bersama nasi dan garam. Setelah menjadi adonan seperti bubur kental, turapkan ramuan ke bagian sendi yang bengkak sambil dibalut. Biarkan selama 1-2 jam, lalu balutan dilepaskan. Lakukan perawatan seperti ini 2-3 kali sehari.
v  Perdarahan rahim, sariawan, bisul, bengkak karena memar
Rebus 10-15 g herba bandotan dalam dua gelas air bersih sampai tersisa menjadi satu gelas. Setelah dingin, saring dan air saringannya diminum sekaligus. Lakukan 2-3 kali sehari.
v  Tumor rahim
Rebus 30-60 g herba bandotan kering segar atau 15-30 g herba kering dalam tiga gelas air sampai tersisa menjadi satu gelas. Selain direbus, herba segar dapat juga ditumbuk. Air rebusan atau air perasannya diminum satu gelas sehari.
v  Sakit tenggorokan
1.    Cuci 30-60 g daun bandotan segar sampai bersih, lalu tumbuk sampai halus. Selanjutnya, peras dan saring. Tambahkan larutan gula batu ke dalam air perasan secukupnya dan aduk sampai rata. Minum ramuan dan lakukan tiga kali sehari.
2.    Cuci daun bandotan secukupnya, lalu jemur sampai kering. Selanjutnya, giling sampai menjadi serbuk. Tiupkan serbuk ke dalam tenggorokan penderita.
v  Malaria, influenza
Rebus 15-30 g herba bandotan kering dalam dua gelas air sampai tersisa menjadi satu gelas. Setelah dingin, saring dan minum sekaligus. Lakukan dua kali sehari.
v  Perut kembung, mulas, muntah
Cuci satu buah tumbuhan bandotan ukuran sedang sampai bersih, lalu potong-potong seperlunya. Rebus dalam tiga gelas air sampai tersisa menjadi satu gelas. Setelah dingin, saring dan minum sekaligus. Lakukan pengobatan ini 2-3 kali sehari sampai sembuh.
v  Perawatan rambut
Cuci, daun dan batang bandotan segar sampai bersih, lalu tumbuk sampai halus. Oleskan hasil tumbukan ke seluruh kulit kepala dan rambut. Tutup kepala dengan sepotong kain. Biarkan selama 2-3 jam. Selanjutnya, bilas rambut. (4)(31)

Ø  Toksisitas
Tanaman ini sangat toksik terhadap embrio pada trimester pertama.(2-3)



Curcuma zedoaria Rosc.
Curcumae zedoariae Rhizoma(Rimpang Kunir Putih) (Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)
Jenis: Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)
Curcumae zedoariae Rhizoma adalah rimpang Curcuma zedoaria (Christm.)Roscoe, anggota suku Zingiberaceae.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Sinonim
C. zedoaria (Berg.) Roscoe, C. zerumbet Roxb.,C.pallida Lour., Amomum zedoaria Christm., A. zerumbet J.Konig.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Nama Daerah
Jawa: Kunir putih, temu putih (Jakarta), koneng tega (Sunda).(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Nama Asing
Inggris: Zedoary; Thailand: Khamin khun, khamin oi; Perancis: Zedoaire; India: Shati.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)



                                  Tanaman kunir putih       Simplisia kering rimpang kunir putih
Deskripsi Tanaman :
            Tumbuhan berhabitus terna setahun, tinggi dapat mencapai 2 m, batang semu berwarna hijau atau coklat tua, batang sejati berupa rimpang berkembang sempurna di dalam tanah, beruas-ruas, bercabang-cabang kuat, berwarna coklat muda sampai coklat gelap, bagian dalam berwarna kuning, jingga dan ada sedikit warna biru kehijauan, berbau aromatik begitu pula pada umbinya. Setiap batang semu tersusun atas 2-9 helai daun yang berbentuk lonjong sampai lanset, berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang 31-84 cm, lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun (termasuk helaian) 43-80 cm. (Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)
            Perbungaan berupa bunga majemuk bulir, ibu tangkai bunga muncul dari antara 2 ruas rimpang (lateralis), bulat memanjang, panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, tangkai ramping, berambut, panjang 10-37 cm,sisik berbentuk garis, berambut halus, panjang 4-12 cm, lebar 2-3 cm; berdaun pelindung banyak, panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bulat telur sungsang (terbalik) sampai lonjong, berwarna merah, ungu atau putih dengan sebagian dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawah berwarna hijau muda atau keputihan, panjang 3-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)
             Kelopak bunga berwarna putih berambut, panjang kelopak 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, tabung berwarna putih atau kekuningan, panjang 2-2,5 cm, helaian mahkota berbentuk bulat telur atau lonjong, berwarna putih dengan ujung berwarna merah atau merah tua, panjang 1,25-2 cm, lebar 1 cm. Benang sari 6, 5 benang sari menjadi lembaran menyerupai bibir yang berbentuk bulat atau bulat telur sungsang (terbalik), berwarna jingga dan kadang-kadang pada tepinya berwarna merah, panjang 14-18 cm, lebar 14-20 mm, benang sari fertil berwama kuning muda, panjang 12-16 mm, lebar 10-15 mm, panjang tangkai sari 3-4,5 mm, lebar 2,5­4,5 mm, kepala sari berwarna putih, panjang 6 mm, tangkai putik panjang 3-7 mm. Buah berambut, panjang 2 cm. (Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)


Simplisia:
Berupa irisan melintang berbentuk bulat, berkerut, tepi tidak rata, permukaan kasar, tebal 2-4 mm, berwarna, kuning kecoklatan, berserat, jika dipatahkan meninggalkan bekas patahan teratur. Bau khas, aromatik, rasa agak pahit.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)


Habitat
Tumbuh baik di daerah tropis mulai dari dataran rendah sampai 750 m dpl.Dibudidayakan sebagai tanaman obat di Pulau Jawa, di bawah naungan atau tumpang sari dengan tanaman pisang ataupun tegakan pohon jati.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Kandungan Kimia
Minyak atsiri: Zingiberen, 1,8 sineol, D-kampora, D-kampen, D­borneol, α-pinen, kurkumol, zederon, kurkumeneol, kurkulon, furanodienon, isofuranodienon. Kurkuminoid: Kurkumin, dismetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin. Ekstrak etanol mengandung asam parametoksi sinamat etil ester.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010) .

Efek Farmakologi
Telah diteliti efek antiradang minyak atsiri temu putih terhadap udem buatan pada tikus putih betina galur Wistar. Tikus diinduksi dengan karagenan, 30 menit setelah pemberian oral minyak atsiri berbagai dosis dari 450-800 mg/kgBB dan pembanding kurkumin 30 mg/kgBB. Hasil percobaan menunjukkan bahwa efek antiradang minyak atsiri dosis 800 mg/kgBB setara dengan kurkumin dosis 30 mg/kgBB.Minyak atsiri rimpang kunir putih dapat menghambat pembentukan radang pada tikus putih galur Wistar dengan dosis 800 mg/kg BB.Kurkumin yang terkandung dalam rimpang temu putih terbukti memiliki efek antiradang, baik secara akut maupun kronis pada model hewan percobaan dan memiliki potensi yang hampir sama dengan fenilbutason dan kortison.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Indikasi
Membantu mengurangi bengkak dan proteksi hati.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Kontraindikasi
Tidak boleh digunakan untuk ibu hamil.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Peringatan
Hati-hati penggunaan pada ibu menyusui.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Efek yang Tidak Diinginkan
Kemungkinan terjadi reaksi alergi.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Interaksi Obat
            Belum pernah dilaporkan.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)
Toksisitas
            LD50 serbuk rimpang kunir putih sampai dengan dosis 2375 mg/kg BB tikus yang diberikan secara p.o masih aman.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Penyiapan dan Dosis
            Sebanyak 1-1,5 g serbuk kunir putih dimasukkan ke dalam air dingin, diaduk 3-5 menit, digunakan 1 cangkir/hari.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Penyimpanan
            Simpan di tempat sejuk dan kering, di dalam wadah tertutup rapat, jauh dari jangkauan anak-anak.(Badan pengawas obat dan makanan RI. 2010)

Terapi Herbal Curcuma longa L (http://www. tmionline.org/ ‘Turmeric: What’s in an Herb Name’. 25/02/09)

Klasifikasi :
Kingdom         : Plantarum
Divisi               : Spermatophyta
Sub-divisi        : Angiospermae
 Kelas              : Monocotyledoneae
Ordo                : Zingiberales
Famili              : Zingiberaceae
Genus              : Curcuma
Species            : Curcuma longa L
  
- Deskripsi :
Tanaman semak, tinggi lebih kurang 70 cm. Batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang, warna hijau kekuningan. Daun tunggal, bentuk lanset memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, panjang 20-40 cm, lebar 8-12,5 cm, pertulangan menyirip, warna hijau pucat. Bunga majemuk, berambut, bersisik, panjang mahkota lebih kurang 3 cm, lebar 1,5 cm, warna kuning.
(http://www.idionline.org/_05_infodk_obattrad9.htm. 24/03/07)

Bukti ethnobotanical menunjukkan bahwa kunir telah berada di india sejak lama, ini diyakini bahwa kunir digunakan disepanjang wilayah penyebaran agama Hindu yang membentang dari India ke asia jauh. Penyebaran kunir ke Cina pada tahun 700 M (Ridley, 1912). Burkill (1966) percaya bahwa penyebarannya sampai ke Afrika barat pada abad ke-13 dan ke timur Afrika di abad ke-17 masing-masing. ini diperkenalkan ke jamaica di 1783 (velayudhan et al.1999). Sekarang Kunir tumbuh di India, Pakistan, Malaysia, Myanmar, Vietnam, Thailand, Pilipina, Jepang, Cina, Korea, Rri Lanka, Nepal, pulau-pulau di pasifik selatan, Afrika timur dan barat, Malagasi, Caribbean pulau, dan Amerika tengah, sekarang India merupakan utama penghasil dan pengekspor kunir. Genus curcuma termasuk kepada keluarga zingiberaceae dan berisi 49 jenis dan 1400 spesies. Sebagai tambahan terhadap Curcuma longa, C. zedoaria rosc. dan C. xanthorrhiza roxb. juga merupakan sumber dari sebagian kecil pewarna curcumin.
Velayudhan et al. (1999) mengakui enam taxonomic jenis dalam C. longa berdasarkan di kwantitatip taxonomic analisis, yaitu C. longa var. typica, C. longa var. atypica, C. longa var. camphora, C. longa var. spiralifolia, C. longa var.

musacifolia dan C. longa var. platifolia. kebanyakan dari C. longa yang ditemukan di india berasal dari C. longa var. typica atau atypica. (Peter.K.V. 2001. Handbook of Herbs and Spices. Vol 1. Chapter 26. Woodhead Publishing Limited, Cambridge, England.)
- Kandungan Kimia (Struktur) : Curcumin. Demetoxycurcumin,

Bisdemetoxycurcumin (ESCOP, 2000, 107)

(Brazilian Journal of Chemical Engineering www.scielo.br. 14/02/09)
  
- Biosintesis (Skema Pokok)

- Dosis dan Metode Pemberian :
Dewasa : 1,5 – 3 g serbuk rimpang setiap hari dengan pemberian oral. (ESCOP)

- Mekanisme Kerja Sebagai Antiinflamsi :

Curcumin menghambat seminal siklooksigenase dari darah domba dengan IC50 8,8μM yang dibandingkan dengan 1,2 μM indometacin. Pada penelitian yang lain juga menghambat 5-lipooksigenase pada netrofilis peritonial tikus (IC50 30 μM yang dibandingkan dengan 0,5 μM asam nordihydroguaiaretik) dan siklooksigenasepada platelet manusia (IC50 2 μM). Curcumin juga menghambat agregasi platelet yang diinduksi oleh arakidonat, adrenalin dan kolagen.(ESCOP)


- Aktivitas Lainnya :

Digunakan pada pengobatan gangguan pencernaan ringan dan kelainan pada sistem kandung empedu. (ESCOP)

Efek Farmakologi
Aktivitas farmakologi
Beberapa penelitian secara in vitro dan in vivo menunjukkan, kunyit memunyai aktivitas sebagai antiinflamasi (antiperadangan), aktivitas terhadap peptic ulcer, antitoksik, antihiperlipidemia, dan aktivitas antikanker.
Obat yang diberikan secara intraperitoneal pada tikus efektif untuk mengurangi inflamasi (peradangan) akut dan kronik. Efektivitas obat terhadap tikus yang dilaporkan sama dengan hidrokortison asetat atau indometasin untuk anti-inflamasi. Jus kunyit atau serbuk yang diberikan secara oral tidak menghasilkan efek antiinflamasi, hanya injeksi intraperitoneal yang efektif.
Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil, kurkumin hanya dapat dideteksi pada feces, namun tidak pada sel darah, plasma atau urine. Hal ini disebabkan kurkumin memunyai ketersediaan hayati yang rendah dan kurkumin merupakan senyawa yang sangat lipofil.
Minyak atsiri dari rimpang kunyit menunjukkan aktivitas antiinflamasi pada tikus yang menekan arthritis, udem tangan/kaki yang diinduksi dengan karagenan dan inflamasi yang diinduksi dengan hialuronidase. Aktivitas antiinflamasi, tampaknya melalui penghambatan enzim tripsin dan hialuronidase. Kurkumin dan turunannya yaitu natrium-kurkuminat yang diberikan secara intraperitoneal (ke organ dalam perut) dan oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi yang kuat yaitu dengan menekan udem yang diinduksi dengan karagenan pada tikus.
Ekstrak obat dalam metanol atau air yang diberikan secara oral pada kelinci, secara signifikan menurunkan sekresi gastrik dan meningkatkan kandungan musin pada gastrik. Ekstrak obat dalam etanol yang diberikan intragastrik pada tikus sangat efektif untuk menginhibisi sekresi gastrik dan melindungi mukosa gastroduodenal yang disebabkan luka akibat stres hipotermik.
Ekstrak kurkumin dapat mencegah kerusakan hati yang diinduksi alkohol pada tikus yang mekanisme kerjanya melalui inhibisi gen NF-kB. Kurkumin memblok endotoksin yang merupakan hasil dari aktivasi NF-kB dan menekan cytokin, chemokin, Cyclooxygenase-2 (COX-2), dan inducible Nitrit Oxydase Sinthetase (iNOS), sehingga mencegah kerusakan hati.
Ekstrak kurkuma juga dapat mencegah hepatotoksisitas yang diinduksi senyawa kimia CCl4 (karbontetraklorida) dengan mekanisme berikatan dengan protein dan reseptor pada permukaan membran sel menggantikan senyawa toksik dan mencegah kerusakan sel.
Ekstrak kurkuma dapat menurunkan semua komposisi lipid (trigliserida, pospolipid dan kolesterol) pada aorta, dan kadar trigliserida pada serum secara ex vivo. Kurkumin dapat menghambat agregasi platelet (PAF) yang distimulasi mediator endogen seperti faktor agregasi platelet dan asam arakhidonat melalui penghambatan produksi tromboxan (TXA2) dan memblok pelepasan second messenger Ca2+.
Kunyit dapat mencegah kanker usus dengan cara menginhibisi enzim-enzim lipid peroksidase dan siklooksigenase-2 yang merupakan implikasi perkembangan kanker dan menginduksi enzim glutation S-transferase. Induksi siklooksigenase-2 dihubungkan dengan produksi prostaglandin (hormon pengatur gerakan otot). Kunyit juga menunjukkan aktivitas sebagai antioksidan yang dihubungkan dengan mekanisme pemadaman singlet O2 yang dapat merusak DNA, namun sifat antioksidan ini bukan sebagai penghambatan superoksida anion atau radikal bebas hidroxil.
Serbuk kunyit yang diberikan secara oral pada 116 pasien dengan kondisi dispepsia, flatulen, dan asam lambung menunjukkan respon yang membaik secara signifikan dibanding kelompok kontrol. Pasien menerima 500 mg serbuk obat empat kali sehari selama tujuh hari, uji klinik yang diukur adalah efek obat pada tukak peptik yang menunjukkan, rimpang kunyit meningkatkan penyembuhan tukak dan menurunkan sakit pada bagian perut.
Uji klinik kedua yang diukur adalah menunjukkan, kurkumin efektif sebagai antiinflamasi. Dalam waktu dua minggu, dilakukan pengujian secara acak pada 18 pasien dengan penyakit reumathoid arthritis yang terbagi dalam tiga kelompok pemberian yang berbeda yaitu diberikan kurkumin (1200 mg/hari), fenilbutazon (30 mg/hari), dan kelompok kontrol. Hasil yang didapat yaitu kelompok yang diberi kurkumin dan fenilbutazon menunjukkan respon antiinflamasi jauh lebih baik daripada kelompok kontrol.
Tingkat keamanan Studi keamanan (uji toksisitas) terhadap rimpang kunyit menunjukkan, ekstrak kunyit aman digunakan dalam dosis terapi. Rimpang kunyit yang diberikan secara oral tidak memberikan efek teratogenik (dampak pada embrio/janin) pada tikus. Keamanan ekstrak kunyit selama kehamilan belum terbukti, penggunaan selama kehamilan harus di bawah pengawasan medis. Ekskresi ekstrak kunyit melalui ASI dan efeknya pada bayi belum terbukti, sebaiknya penggunaan selama menyusui di bawah pengawasan medis.
Dari uji toksisitas yang telah dilakukan selama 90 hari untuk konsumsi kunyit diperoleh hasil bahwa efek toksik terjadi pada 50 kali dosis yang biasa digunakan manusia setiap harinya.
   10.                        Pustaka
2.      Direktorat Obat Asli Indonesia, 2007, Acuan SediaanHerbal, Volume Ketiga, Edisi pertama, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta,   46 – 49.
3.      Direktorat Obat Asli Indonesia, 2008, Acuan SediaanHerbal, Volume Keempat, Edisi pertama, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta,   9497.
5.      Hisran, Dr. N.C. Soegiarso dan Dr. M. B. Wattimena, 1988, Daun Bandotan (Ageratum conyzoides Linn.) dan Rimpang Temu Kunci (Kaempferia pandurata Roxb.) Pada Tikus Putih Galur Wistar, Skripsi, Institut Teknologi Bandung, 33-36.
6.      Sukandar. E.Y., Dr et al., 1998, Pembuatan Sediaan Fitofarmaka Antiinflamasi Yang Efektif dan Aman, Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing VI Tahun I Perguruan Tinggi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 9-10.
7.      Hanni Prihhastuti Puspitasari, Sukardiman, Aty Widyawaruyanti, 2003, Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Metanol Herba Ageratum conyzoides L. Pada Kultur Sel Mieloma Mencit, Majalah Farmasi Airlangga, Vol.3 No.3,:93
8.      Sukardiman, Hadi P. dan Aty W., 2000, Penapisan Antikanker Tanaman Obat Indonesia dengan Molekul Target Enzim DNA Topoisomerase,Penelitian. FFUA, Surabaya
9.      Taufan H. Sugara. 2010. Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri dari Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.). Institut Pertanian Bogor.
10.  Mega Yudistira, 2006.Efektivitas Daun Bandotan (Ageratum conyzoidesLinn.) Sebagai Larvisida Nyamuk Culex. Universitas Maranatha.
11.  Dwita Nur Anggraini, 2010. Pengaruh Pemberian Konsentrasi Filtrat Daun Bandotan (Ageratum conyzoides L.) Terhadap Mortalitas Ulat Kapas (Helicoverpa armigera H.) secara In Vitro. Universitas Muhammadiyah Malang.
12.  Mohd. Zaini A dan J. R. Wattimena, 1975. Antipiretik Ageratum conyzoides, Jasminum sambac dan Caesalpinia pulcherrima. Penelitian Obah Bahan Alam Sekolah Farmasi ITB
13.  Gunawan P. W., Elin Yulinah S., Iwang Soediro. 1999. Uji Antiinfeksi pada Punggung Kelinci dan Telaah Fitokimia Ekstrak Etil Asetat dan Etanol Daun Ketimun dan Babadotan. Penelitian Obah Bahan Alam Sekolah Farmasi ITB.

14.  Fernando A.C. de Mendonça, K.F.S. da Silva, K.K. dos Santos, K.A.L. Ribeiro Júnior, A.E.G. Sant'Ana. December 2005, Activities of some Brazilian plants against larvae of the mosquito Aedes aegypti. Fitoterapia, Volume 76, Issues 7-8,Pages 629-636.
15.  Adewale Adetutu, Winston A. Morgan, Olivia Corcoran, F. Chimezie. Antibacterial activity and in vitro cytotoxicity of extracts and fractions of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth. stem bark and Ageratum conyzoides Linn. leaves. Environmental Toxicology and Pharmacology, Volume 34, Issue 2, September 2012, Pages 478-483.
16.  A. H. Adebayo, N. H. Tan, A. A. Akindahunsi, G. Z. Zeng, Y. M. Zhang. Anticancer and antiradical scavenging activity of Ageratum conyzoides L. (Asteraceae).Pharmacogn Mag. 2010 Jan-Mar; 6(21): 62–66.
17.  N.E. Nweze, I.S. Obiwulu. Anticoccidial effects of Ageratum conyzoides.Journal of Ethnopharmacology, Volume 122, Issue 1, 25 February 2009,Pages 6-9
18.  Ukwe Chinwe V, Ekwunife Obinna I, Epueke Ebele A, Ubaka Chukwuemeka M. Antimalarial activity of Ageratum conyzoidesin combination with chloroquine and artesunate. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine 2010, Pages 943-947.
19.  Agunbiade O, Ojezele O, Ojezele J, Ajayi A. Hypoglycaemic activity of Commelina africana and Ageratum conyzoides in relation to their mineral composition. Afr Health Sci. 2012 Jun;12(2):198-203.
20.  Nyunaï N, Njikam N, Abdennebi el H, Mbafor JT, Lamnaouer D. Hypoglycaemic and antihyperglycaemic activity of Ageratum conyzoides L. in rats.Pharmacogn Mag. 2010 Jan;6(21):62-6.
21.  B.O. Owuor, J.O. Ochanda, J.O. Kokwaro, A.C. Cheruiyot, R.A Yeda, C.A. Okudo, H.M. Akala. In vitro antiplasmodial activity of selected Luo and Kuria medicinal plants. Journal of Ethnopharmacology, In Press, Corrected Proof.
22.  Nima D. Namsa, Hui Tag, M. Mandal, P. Kalita, A.K. Das. An ethnobotanical study of traditional anti-inflammatory plants used by the Lohit community of Arunachal Pradesh, India. Journal of Ethnopharmacology, Volume 125, Issue 2, 7 September 2009, Pages 234-245.
23.  Mainen J. Moshi, Godeliver A.B. Kagashe, Zakaria H. Mbwambo. Plants used to treat epilepsy by Tanzanian traditional healers. Journal of Ethnopharmacology, Volume 97, Issue 2, 28 February 2005, Pages 327-336.
24.  R.N. Almeida, R.N. Almeida, D.S. Navarro, J.M. Barbosa-Filho. Plants with central analgesic activity. Phytomedicine, Volume 8, Issue 4, 2001, Pages 310-322.
25.  R. Perumal Samy, S. Ignacimuthu, D.Patric Raja. Preliminary screening of ethnomedicinal plants from India. Journal of Ethnopharmacology, Volume 66, Issue 2, August 1999, Pages 235-240.
26.  Tote MV, Mahire NB, Jain AP, Bose S, Undale VR, Bhosale AV. Effect of Ageratum conyzoidesLinn. on clonidine and haloperidolinduced catalepsy in mice.Pharmacologyonline 2009; 2: 186-194.
27.  Amal M.M. Nour, Sami A. Khalid, Marcel Kaiser, Reto Brun, Wai’l E. Abdalla, Thomas J. Schmidt. The antiprotozoal activity of methylated flavonoids from Ageratum conyzoides L.Journal of Ethnopharmacology, Volume 129, Issue 1, 4 May 2010, Pages 127-130.
29.  F.A. Hamill, S. Apio, N.K. Mubiru, M. Mosango, R. Bukenya-Ziraba, O.W. Maganyi, D.D. Soejarto. Traditional herbal drugs of southern Uganda, I. Journal of Ethnopharmacology, Volume 70, Issue 3, 15 July 2000, Pages 281-300
30.  F.A Hamill, S Apio, N.K Mubiru, R Bukenya-Ziraba, M Mosango, O.W Maganyi, D.D Soejarto. Traditional herbal drugs of Southern Uganda, II: literature analysis and antimicrobial assays. Journal of Ethnopharmacology, Volume 84, Issue 1, January 2003, Pages 57-78.
 

Blogger news

Blogroll

About